Saturday, November 12, 2011

Paradigma Komunikasi Positif dalam Pemasaran

Oleh Niken Lestari
Mahasiswa S2 Kajian Wanita-UI (Oktober 2005)
………………………………………………………………
Manusia menciptakan dan memelihara simbol selama hidupnya. Tidak heran bila sekarang kita dikelilingi oleh begitu banyak simbol. Bentuknya bisa bahasa verbal sehari-hari, bahasa resmi, gambar atau isyarat. Setiap hari pula simbol-simbol tersebut saling diberikan dan diterima, sehingga mempengaruhi otak manusia untuk terus berkembang sesuai dengan semakin kompleksnya simbol yang tercipta.

Merek adalah bagian dari simbol dunia industri modern. Merek sendiri sebagai kata resmi bahasa Indonesia masih dirasakan kurang enak terdengar di telinga. Mungkin itu juga sebabnya dalam iklan sebuah Kompetisi Penulisan Marketing di harian Kompas merek ditulis dengan kata brand dan pemasaran diganti dengan kata marketing. Penggunaan kata dalam bahasa Inggris dianggap lebih efektif karena lebih dikenal oleh segmen menengah ke atas.

Sebagai simbol, kata atau frase atau nama orang yang menjadi sebuah merek memiliki arti penting bagi sebuah industri. Dalam nama yang mewakili merek, terdapat sejarah yang padat dengan nilai dan etos kerja. Sebaiknya pula simbol dalam bahasa Indonesia dimunculkan. Ketakutan bahwa kata dalam bahasa Indonesia sulit diartikulasi orang asing atau kurang global sebenarnya tidak beralasan. Aspek yang menentukan dari kuat tidaknya merek adalah proses mengkomunikasikannya, seperti Toyota, Suzuki, dan Samsung yang berhasil membangun identitas merek yang kuat.

Simbol sangat mempermudah otak manusia yang terbatas untuk mengingat satu konsep dan membuat asosiasi antara simbol tertentu dengan citra yang ingin diwakilkan. Produsen dengan bantuan tenaga pemasaran berusaha keras membangun merek sebagai simbol yang akrab dan dekat dengan konsumen. Kemudian rangkaian tersebut dikomunikasikan untuk mencapai tujuan akhir yaitu merek yang kuat sehingga tingkat pemasaran mencapai bahkan melebihi target yang ditentukan. Buku-buku bidang pemasaran baik yang bersifat akademis maupun popular sudah banyak beredar di pasaran. Segala macam teknik dibahas dan ditawarkan untuk meraih hasil maksimal dalam membangun merek, terutama melalui iklan perusahaan (corporate). Namun apa yang dijelaskan di buku kadang tidak memberikan semua kondisi dan situasi yang mungkin ditemui di lapangan.

Perlu diingat pula bahwa karakter konsumen tidak ajeg. Mereka terus berubah dan pelaku pemasaran tidak dapat memakai “rumus” pemasaran yang sukses di tahun 2000-an kepada segmen yang sama yang hidup dua atau lima tahun kemudian. Hal itu lah yang membuat pemasaran tidak pernah berhenti meluncurkan kreativitas.

Arrieta, seorang praktisi pemasaran, memberikan panduan dalam membuat naskah iklan kreatif di situsnya. Ada tiga poin yang menarik yang menjadi bagian dari komunikasi efektif suatu merek, yaitu menulislah untuk pembaca, selalu langsung ke sasaran (go straight to the point) dan hindari bahasa seksis.
Ketiga aspek yang disebutkan di atas saling berhubungan. Ketika Anda mengomunikasikan sebuah merek maka Anda harus “berbicara” dengan calon konsumen dari segmen yang dituju. Otomatis hal ini berhubungan dengan penggunaan bahasa.

Sehingga Linda Elizabeth Alexander mengatakan bahwa ‘”bahasa yang bias dapat menjauhkan diri dari calon konsumen yang ingin kita raih”. Jika anda membedakan bahkan memanfaatkan identitas konsumen dengan salah, akibatnya anda akan kehilangan kredibilitas karena mereka akan menjauh dan anda pun tidak bisa membangun argumentasi dari produk atau merek tersebut.
Simbol yang dipakai dalam komunikasi pemasaran juga harus jelas atau sesuai dengan aturan ketiga harus langsung ke sasaran. Sekarang ada kecenderungan munculnya konsep pemasaran, terutama dalam iklan, yang abstrak, sehingga konsumen sekali lagi dibuat bingung. Maksudnya mungkin untuk membangkitkan rasa penasaran untuk mencari tahu. Tetapi keefektifannya perlu diselidiki lebih jauh, apakah konsumen dapat memahami dan setuju dengan citra yang ingin disampaikan?

Pemasaran tidak identik dengan iklan tetapi iklan menjadi simbol bagi pemasaran. Pemasaran sebagai sebuah proses meliputi perencanaan dan implementasi promosi dan distribusi sebuah produk untuk memuaskan pelanggannya. Sebagai proses, maka pendekatan yang dilakukan dari berbagai arah, meliputi penjualan (sales), perilaku konsumen, pemasaran langsung, distribusi, pelayanan, iklan, menentukan harga dan yang sangat penting adalah hubungan masyarakat.

Hubungan masyarakat atau humas ini yang menjadi kunci dalam membangun, memelihara dan memperkuat citra merek. Namun seperti yang dikatakan Kotler, bahwa tenaga dan dana yang diberikan untuk tugas ini cenderung lebih kecil dibanding iklan layanan masyarakat yang terfokus pada citra produk.
Dalam pemasaran, tujuan utama adalah memasarkan sesuatu, dalam konteks ini yang dipasarkan adalah citra satu merek. Hal itu dapat dilakukan bila konsumen sadar dan mengetahui keberadaan, citra dan manfaat yang ditawarkan merek tersebut di pasar. Hanya pada prakteknya, persaingan ketat dengan merek lain membuat bagian pemasaran tidak tertarik dengan proses komunikasi yang bertingkat. Mereka mengutamakan menarik perhatian sebanyak mungkin orang dan untuk tujuan ini semata daya tarik seksual digunakan. Padahal jika tidak hati-hati maka hal tersebut dapat menjauhkan calon konsumen dari merek yang ditawarkan.

Teknik pemasaran modern dimulai di Amerika Serikat pada dekade 1920-an mempunyai dua karakter mendasar untuk mencapai tujuan. Pertama adalah stereotipe pekerjaan atau tugas antara laki-laki dan perempuan. Kedua adalah menciptakan situasi atau rasa tidak tidak nyaman, kekurangan dan tidak aman dalam diri konsumen sehingga mereka mengonsumsi produk yang ditawarkan dan secara spesifik dari merek tertentu. Dua hal tersebut masih bertahan dalam praktek pemasaran tetapi tidak banyak dibahas dalam sebagian besar buku pemasaran.

Seringkali tujuan memasarkan produk sekaligus digunakan untuk memasarkan merek produk yang bersangkutan. Bila tujuannya adalah supaya produk tertentu dikonsumsi, peran perempuan secara khusus menjadi penting karena mereka sebagai objek dari strategi pemasaran, baik sebagai bagian dari eksploitasi pemasaran maupun sebagai konsumen. Dalam pameran otomotif terutama mobil, biasanya identik dengan keberadaan perempuan muda, cantik dan tubuh proporsional dalam balutan pakaian ketat digunakan sebagai penarik perhatian. Padahal fungsi mereka di sana sebagai jembatan komunikasi ke konsumen yang tidak perlu ditarik perhatiannya dengan cara yang seksis. Lagipula mobil sebagai alat transportasi, telah berkembang menjadi konsep uniseks yang konsumennya tidak terbatas pada laki-laki tetapi juga perempuan. Jika strategi seperti ini yang dilakukan maka bukan tidak mungkin menjauhkan calon konsumen perempuan dan keluarga.
Jika kesadaran merek yang ingin dibangun tidak didukung dengan praktek komunikasi yang positif maka citra yang negatif akan muncul dengan sendirinya. Dengan begitu, proses pemasaran yang dilakukan sangat tidak efektif.

Secara umum, teknik pemasaran perlu mengubah paradigma klasik “ketidaknyamanan” yang justru membayangi konsumen dengan kecemasan dan kebingungan, terutama perempuan, terhadap konsep diri mereka dan ini tidak terbatas di Indonesia saja. Apakah situasi seperti ini yang ingin diciptakan untuk membangun citra merek yang positif? Saya yakin, dan seharusnya memang, tidak.

Merek yang baik dan kuat harus dapat memberikan rasa nyaman dan aman terhadap konsumen. Oleh karena itu, teknik komunikasi yang dilakukan juga harus positif, salah satunya dengan cara menghindari bahasa dan citra seksis dalam penyampaiannya. Dengan demikian konsumen dapat memiliki perasaan positif yang sama terhadap merek.

Dengan praktek lama, feminis akademis melihat dunia pemasaran telah salah memahami dan menempatkan perempuan. Contohnya adalah fenomena konsumsi yang sering dilekatkan sebagai “pekerjaan” perempuan. Sedangkan pemahaman yang benar terhadap perilaku konsumen, salah satunya berjenis kelamin perempuan, sangat krusial untuk merancang strategi pemasaran yang sesuai. Jika pemahamannya salah, strategi pemasarannya pun tidak akan kena. Kalaupun strategi tersebut membuahkan hasil yang cukup baik maka pemahaman yang salah itu yang justru dianggap benar dan dipresentasikan melalui media. Padahal perempuan yang banyak menjadi target pemasaran menengah ke atas memiliki otonomi keuangan dan kehidupan yang lebih luas.
Praktisi pemasaran akan mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah memenuhi kebutuhan konsumen yang sejak awal memang tidak nyaman dengan dirinya atau situasi sekelilingnya, dan diidentifikasi pemasar sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.

Ada permintaan, ada penawaran. Namun pada perkembangannya rasa tidak nyaman tersebut dipelihara oleh bagian pemasaran. Jadi tidak heran bila ada perempuan yang tidak nyaman bila tidak menggunakan HP atau kosmetik dengan merek tertentu. Komunikasi antara pemasar dan konsumen yang efektif adalah memahami bahwa konsumen tidak satu jenis saja dan kebanyakan sekarang tidak bodoh.

Dengan paradigma lama maka keberadaan perempuan dalam komunikasi pemasaran biasanya diidentikkan dengan konsep yang sama dengan makanan; yaitu menarik perhatian (attractive), membangkitkan minat (appetizing) dan dapat dikonsumsi (consumable).

Jargon bahwa “seks atau seksualitas itu menjual” dikenal luas praktisi media. Aturan untuk menghindari bahasa seksis pun dilupakan. Bahasa atau citra seksis adalah bahasa bias yang berisi prasangka buruk terhadap seseorang (terutama perempuan) dikarenakan jenis kelamin mereka. Komunikasi yang menggunakan bahasa seksis akan dirasa mengganjal pada diri perempuan terutama mereka yang peka gender.

Banyak merek dan produk yang nilainya netral atau tidak bergender, artinya baik laki-laki dan perempuan potensial memanfaatkan produk dan merek yang ditawarkan. Kemudian melalui pengolahan di “laboratorium” pemasaran untuk merumuskan simbol apa yang ingin diasosiakan dengan merek tersebut, maka muncul ide yang disadari atau tidak mengeksploitasi seksualitas perempuan demi tujuan tersebut. Ide tersebut memang cepat mengambil perhatian orang tetapi dalam bentuk yang negatif.

Pemasaran seperti itu akan menempatkan citra produk dan merek pada posisi yang bila diteliti menjauhkan calon konsumen perempuan. Komunikasi yang efektif mampu membangun citra yang positif dan kuat dalam benak konsumen. Namun salah satu kesulitan yang dihadapi adalah mencoba mengomunikasikan kesadaran dan potensi merugikan dari komunikasi negatif terhadap merek kepada klien dan pimpinan perusahaan. Hal ini menjadi tantangan karena kadang posisi bagian pemasaran sendiri lemah dan mengikuti konsep besar yang ditentukan pihak lain, sementara pemasar hanya menterjemahkannya.

Pemasar tidak berdiri sendiri untuk membangun kesadaran merek vang berkualitas, tetapi harus didukung oleh pihak lain seperti iklan yang positif, pemahaman perilaku konsumen yang benar, hubungan masyarakat yang dekat, distribusi yang tidak terputus, penentuan harga yang pas, dan pelayanan yang profesional. Konsumen nantinya akan membandingkan antara citra merek dengan pesan yang disampaikan lewat berbagai strategi di atas. Ada kalanya citra merek tidak sesuai dengan pesan dalam iklan atau pelayanan pasca-jual yang dijanjikan dan konsumen biasanya tidak akan tinggal diam. Akhirnya, citra merek yang sudah dibangun dengan kerja keras dan biaya besar dipertaruhkan.

Hal lainnya adaIah inovasi, bukan saja produknya tetapi inovasi merek yang perlu terus dilakukan. Citra yang ingin diwakilkan satu merek biasanya didefinisikan dengan beberapa kata yang pasti positif, seperti modern, kokoh, tahan banting, terpercaya, mutakhir dan sebagainya. Namun ada beribu cara untuk melekatkan citra positif tersebut ke dalam pikiran konsumen. Usaha yang tidak mudah adalah bahwa untuk dapat menyampaikan citra merek yang positif biasanya menggunakan paradigma perbandingan.

Mutakhir versus kuno, tahan banting versus mudah menyerah, kokoh versus rapuh, ujungnya adalah maskulin versus feminin. Penelitian pasar menjadi penting bukan saja pada taraf minat terhadap produk dan persepsi terhadap merek, tetapi juga untuk tujuan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai batasan media dan periklanan yang berlaku di berbagai negara. Penelitian ini akan membawa pengertian lebih dalam pada sikap dan perilaku konsumen sehingga program pemasaran yang dibuat tidak salah langkah yang justru akan membawa kerugian dan citra buruk terhadap merek.

Seorang pemasar sewajarnya mengetahui dan memahami lingkungan tempat dia bekerja, baik secara geografis dan nilai yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan produk dan merek yang dia bawa. Adanya kode etik pemasaran atau periklanan seperti yang ada di Malaysia dengan Advertising code for television and radio yang diterbitkan tahun 1990 sangat membantu pemasar intemasional.
Masyarakat Indonesia banyak yang belum melihat masalah gender sebagai sesuatu yang penting, tetapi bukan berarti mereka belum sadar bahwa posisi perempuan sudah mengalami perubahan. Dengan tumbuhnya pengetahuan dan pemahaman terhadap budaya lokal akan membantu perumusan bahasa komunikasi bisnis yang menjadi modal bagi perusahaan dan individu untuk berkembang menjadi pemasar bertaraf intemasional.

Bagian pemasaran biasanya identik dengan mereka yang berpikir terbuka, kreatif dan siap dengan ide yang berani. Konsep pemasaran yang positif dapat menjadi tantangan baru bagi tenaga pemasaran di Indonesia. Singkatnya, ada dua cara yang dapat digunakan dalam komunikasi positif yaitu:
1) Gunakan bahasa dan citra yang positif sesuai dengan pesan positif merek yang ingin disampaikan.
2) Hindari penggunaan komunikasi atau simbol yang dapat memberi perasaan tidak nyaman, khawatir dan kecemasan berlebihan di pihak konsumen.
3) Hindari perbandingan nilai, antara feminin dengan maskulin dan turunannya, secara timpang.

Keberhasilan dari penggunaan komunikasi positif untuk mengkomunikasi merek dapat dilihat dari citra positif dan kuat yang melekat pada beberapa merek rokok nasional dan internasional. Padahal produk dari merek tersebut memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan dan hal tersebut dengan jelas ikut disampaikan pada konsumen. Kesimpulannya, komunikasi positif sebagai paradigma baru dunia pemasaran dapat diterapkan untuk mencapai hasil pemasaran yang maksimal.

Bibliografi
Alexander, Linda Elizabeth (2004).“Avoiding sexist language in writing”.
Www. Frugalmarketing.com. 17 September.

Arrieta, Shery Ma Belle (2004). “9 Tips on writing good copy”. Http://internetmusketeers.com. 17 September.

Bungin, Burhan (2003). Pornomedia: konstruksi oslul teknologi telematika dan perayaan seks di media massa. Bogor: Kencana.

Catterall, Miriam, Maclaran, Pauline and Stevens, Lorna (2004). “Marketing and feminism: past, present and future”. Http://c3.business.utah.edu/books.html. 22 September.
Jacobson, Michael F. & Mazur, Laurie A. (2004). “Sexism and Sexuality in Advertising” (it is a review article taken from Marketing madness: A survival guide for a consumer society, (pp. 74-87). Boulder: Westview Press.
http://www.personal.kent.edu/~glhanson/readings/advertising/womeninads.htm. 22 September.

Resensi Swanet (2004). “80 Konsep pemasaran yang enak dicerna: Marketing insight from A to Z”. http://www.swanet.com. 22 September.

Waller, David S. and Kim, Shyan Fam (2004). Cultural values and advertising in Malaysia: views from the industry. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, 12 (1). pp. 3-16. ISSN 1355-5855.

Zarchikoff, Rebecca (2004). “Authority and TV ads”. Www.kafka.univ.ca/weak.html. 2 September.

Zarchikoff, Rebecca (2004). “Looking through the years at women’s place in advertising”. Http://www.kafka.univ.calweak.html. 22 September.

No comments:

Post a Comment